Selasa, 16 Oktober 2012

BUDAYA KEKERASAN



well..kali ini gw mau posting tentang budaya kekerasan yang ternyata udah lama tercipta di kehidupan kita..
salah satu nya adalah kekerasan terhadap wanita..
check it out!
 
KASUS PEMERKOSAAN TERHADAP WANITA
Kekerasan terhadap perempuan, terutama perkosaan, menunjukan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang masih mengedepankan laki-laki daripada perempuan. Budaya patriarchal masih dianut masyarakat di banyak tempat di Indonesia. Hal tersebut tercer­min dalam aturan, norma sosial, moralitas, adab, dan sistem hukum dalam masyarakat yang masih mengacu kepada laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Per­soalan mendasar mengapa kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan berulang kali terjadi, karena ada cara pandang atau cara berpikir yang salah mengenai posisi laki-laki. Akibatnya, semua perempuan cenderung dirugikan dan menjadi korban kekerasan
Berbagai peristiwa yang dialami perempuan di tem­pat umum, ini menjadi teror baru bagi perempuan di Indonesia. Rasa aman di ruang publik tidak lagi mudah diperoleh oleh perempuan. Terulangnya pemerkosaan terhadap perempuan di dalam angkutan umum menun­jukkan bahwa tidak ada kebijakan dari negara untuk me­lindungi perempuan dari kejahatan seksual. Padahal ke­jadian serupa sudah berkali-kali terjadi. Negara cenderung mengabaikan dengan tidak memberikan rasa aman dan menindak tegas para pelaku. Padahal negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan rasa aman dan per­lindungan bagi perempuan, yang merupakan hak konsti­tusional tiap warganya. Negara harus bertanggung jawab untuk memastikan dan mengembalikan rasa aman bagi perempuan Indonesia.
Pemerkosaan sebagai tindak kekerasan laki-laki atas perempuan mencerminkan tatanan sosial yang patriar­chal. Nilai-nilai yang dominan dimiliki dan kendalikan oleh laki-laki. Laki-laki begitu berkuasanya sehingga terbentuk semacam budaya dominasi laki-laki atas perempuan (male domination culture). Budaya ini bisa pula menghinggapi kalangan perempuan, akibat men­gadopsi kultur dan tradisi dominan itu. Budaya yang sarat dominasi laki-laki ini mengakar kuat di masyara­kat, karena secara sengaja ataupun tidak dibiakkan melalui pranata sosial kita, seperti pendidikan, norma moral, adat istiadat, religi, dan lainnya. Nilai-nilai sos­ial itu sungguh sangat bias gender. Turunan budaya ini tampak melalui perilaku sehari-hari laki-laki di tataran rumah tangga, keluarga, komunitas, dan masyarakat serta bangsa.
Pemerkosaan dilakukan laki-laki atas perempuan tak hanya karena dorongan seksual individual atau kolektif, yang menggerakkan biologis mereka untuk segera melampiaskannya semata, melainkan juga aki­bat impulse sosial yang meyakinkan diri mereka bahwa tindakan kekerasan apapun atas dan terhadap orang lain (perempuan) adalah sah dan wajar secara sosial. Le­gitimasi bahwa perbuatan pemerkosaan mereka diakui dan dibenarkan secara sosial, karena relasi kuasa yang ada antara perempuan dan laki-laki, dianggap rasional dikendalikan oleh laki-laki.
Terkait dengan teori ekologi Urie Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan  menyatakan bahwa perilaku seseorang  tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya. Dari kelima sistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem, tindak pemerkosaan ini masuk ke dalam sistem Makrosistem. Makrosistem meliputi kebudayaan tempat individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain-lain. Dalam kasus ini, Negara berperan sangat penting atas terjadinya tindakan pemerkosaan yang berlangsung terus-menerus dan tidak ada habisnya.
Pada tataran hukum, banyak terjadi praktik-praktik hukum yang tidak menguntungkan bagi korban kasus perkosaan. Jika menilik pada Pasal 285 KUHP disebutkan ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah selama-lamanya duabelas tahun penjara. Sementara  pada prakteknya, sangat jarang hakim yang menjatuhkan vonis hukuman maksimal pada para pelaku. Di Indonesia, kasus perkosaan sejauh ini masih dimasukan dalam pasal kesusilaan KUHP.  Sebagai konsekuensinya, jerat hukum yang diberikan untuk pemerkosa hanya sebatas hukuman tindakan asusila. Padahal, perkosaan bukan lagi sekedar tindakan asusila, perkosaan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Korban akan mengalami trauma fisik terlebih-lebih psikis yang akan berlangsung sepanjang hidupnya.
Sensitivitas aparat penegak hukum dalam menangani korban aksi pemerkosaan juga masih perlu dikritisi. Tak jarang terjadi, korban justru menjadi korban dua kali saat menjalani pemeriksaan di kepolisian. Anggapan bahwa perempuan kerap turut andil dalam terjadinya aksi pemerkosaan, dengan memakai pakaian mini misalnya atau bersikap yang memancing birahi masih sering muncul dalam proses pemeriksaan. Hal inilah yang seringkali memicu kekerasan baru dalam bentuk verbal maupun yang menekan psikologis korban.
Negara dengan perangkat hukum dan aparatnya mestinya secara jelas, tegas, dan pasti, mampu mengambil tindakan hukum tanpa pandang bulu terha­dap pelaku pemerkosaan. Menghukum pelaku kejahatan ini dengan masa hukuman yang panjang haruslah men­jadi perhatian negara dan aparatnya. Hukuman yang maksimal kepada pelaku perkosaan tentu sedikit ban­yak akan memunculkan efek jera kepada calon-calon pelaku kejahatan, yang hendak mencoba melakukan­nya. Selain itu, negara juga harus mencabut semua hu­kum dan aturan yang mengarahkan atau menjadikan perempuan subjek perkosaan. Hukum-hukum nasional, aturan adat, norma sosial, dan peraturan-peraturan lo­kal yang melanggar hak asasi perempuan dalam selu­ruh dimensinya mesti dihapuskan. Kemudian, negara juga harus menyediakan fasilitas pemulihan untuk ko­rban dan jaminan pengganti secara sosial ekonomis, sehingga para korban mendapat kepastian akan masa depannya yang sudah dibebani itu. Negara harus dapat berperan maksimal dalam menjamin dan memastikan penikmatan perempuan atas hak asasinya tidak di­langgar oleh siapapun, bahkan oleh Negara sekalipun.

Pemerkosaan sebagai tindak kejahatan (criminal acts) di masyarakat kerap diabaikan atau disembunyikan, karena dianggap aib. Apalagi para korban sering menjadi traumatis untuk dapat menuturkan kisahnya kembali dalam proses hukum dalam pemberkasan maupun pera­dilannya sendiri. Budaya bisu (silence culture) masyara­kat ataupun pihak korban berakar pada kuatnya tatanan nilai dan normal sosial yang bias gender dan patriarchal. Dengan demikian, para korban merasakan ketidakaman­an dan kenyamanan individual dan sosial akibat tatanan masyarakat yang membelenggu. Semua beban tubuh dan kejiwaan akhirnya dirasakan dan ditanggung send­iri. Mau mencurhatkan masalahnya, belum tentu orang-orang di sekitarnya peduli dan empati terhadapnya. Tak jarang, keluarga terdekat pun, untuk kalangan masyara­kat kelas bawah yang tak melek informasi, kebingungan harus melakukan apa untuk mengatasi persoalan itu. Se­hingga tak jarang, mereka membiarkan saja persoalan­nya berlalu tanpa solusi hukum (memperoleh keadilan). Dengan fakta sosial yang demikian, maka seharus­nya negara sebagai pemegang kendali atas hak hidup warganya khususnya warga perempuan, berlaku adil terhadap korban.
Tidak dapat dipungkiri juga, kasus perkosaan yang terjadi banyak dipengaruhi melalui DVD porno yang ditonton pelaku pemerkosaan, media majalah dewasa yang dapat dengan mudah didapatkan oleh semua umur, dan internet yang menyediakan dengan mudah akses untuk mendapatkan video-video porno. Memang maraknya peredaran DVD porno sekarang ini mengakibatkan orang yang tidak mempunyai iman kuat, tabiat yang baik dan lingkungan sosial yang sehat menjadi lupa diri dan tidak lagi mengindahkan norma - norma juga nilai  - nilai kemanusiaan. Disisi lain, sebenarnya pemerintah juga ikut andil dalam perputaran perdagangan DVD porno ini. Pemerintah tidak mampu membuat jaring pengaman untuk beredarnya perdagangan DVD porno, kelemahan pemerintah dalam menindaklanjuti tindakan membajak yang tidak pernah dibuktikan meskipun banyaknya sosialisasi untuk kasus pembajakan. Ditambah dengan budaya yang diciptakan negara seperti yang telah dijelaskan di atas,  yang membuat maraknya kasus pemerkosaan ini tidak pernah berakhir.
            Melihat runtutan peristiwa dan sejarah budaya yang telah diciptakan oleh ranah masyarakat dan negara, dapat disimpulkan beberapa faltor yang mempengaruhi tindak pemerkosaan tersebut sebagai berikut :
·         Faktor pertama datang dari hukum di Indonesia karena keterbatasan KUHP yang meredusir fakta perkosaan. Misalnya pasal alat bukti, pengertian kekerasan yang tidak diakomodasi kekerasan psikis, serta tidak mengandung rumusan perkosaan yang terjadi di rumah tangga. Juga mengenai sanksi terhadap peredaran video  porno di masyarakat yang bisa didaptkan dengan mudah melalui media apa saja.
·         Faktor kedua, tidak perspektifnya aparat kepolisian yang berpihak pada perempuan para korban, menyebabkan korban kekerasan enggan melaporkan kasusnya ke polisi.
·         Faktor ketiga, tidak adanya dukungan oleh masyarakat. Mereka (masyarakat) cenderung menyalahkan korban dan masih mengganggap aib dan memilih upaya damai dengan pelaku. Terlebih lagi korban, dengan mencuatnya kasus itu dianggap sebagai kunci mati bagi masa depannya bahkan dirasakan sebagai perkosaan kedua setelah yang sebenarnya. Dengan melihat banyaknya kasus pemerkosaan yang sudah terjadi baik yang terungkap maupun yang disembunyikan, jelas sekali bahwa kemerosotan mosal pada masyarakat kita. Terakhir

Melihat tingginya angka kasus pemerkosaan di masyarakat, kasus ini harus menjadi perhatian lebih dari berbagai elemen masyarakat khususnya aparat penegak hukum. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menindak dan menghukum, pelaku kejahatan perkosaan seberat-beratnya. Aparat juga diwajibkan memberikan perlindungan, rehabilitasi kepada korban, hal ini bisa diawali di tahap pemeriksaan dimana aparat hukum wajib menjalankan pemeriksaan hukum yang aman dan nyaman bagi korban dengan menghindari sikap dan perilaku yang membuat korban merasa menjadi korban untuk kali kedua. Masyarakat juga sebaiknya lebih berempati terhadap para korban pemerkosaan tersebut, bukannya malah antipati.
Pemerintah bersama masyarakat juga perlu secara terus menerus melakukan upaya pencegahan terjadinya aksi perkosaan, caranya dengan berbagai model edukasi dan promosi kepada masyarakat termasuk menginformasikan ancaman hukuman yang diarahkan kepada pelaku. Yang paling penting dan kadang terlewat adalah perlu dibangunnya lembaga-lembaga atau pusat pelayanan pendampingan untuk korban perkosaan.
              Wanita saat ini bisa menjadi tulang punggung keluarga sehingga tidak bisa dipungkiri memang banyak wanita yang masih berada di luar rumah untuk bekerja pada malam hari dan mereka memerlukan transportasi umum yang hanya tersedia seperti bus dan angkot saja pada malam hari, kecuali bagi mereka yang mempunyai kendaraan sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kerjasama yang baik dengan pihak-pihak terkait  seperti yang telah diuraikan diatas, dan juga keikutsertaaan masyarakat dalam menjaga keamanan dan memprotec diri mereka sendiri agar tidak menjadi sasaran empuk bagi pria untuk melakukan perbuatan tercela tersebut. Diperlukan sebuah kesadaran yang tinggi dari wanita dan masyarakat dalam menjaga lingkungan disekitarnya, karena dinamika perilaku manusia di dalam lingkungan kita berproses dari hari ke hari, dan apabila kerjasama dilaksanakan masyarakat dengan pihak-pihak terkait dan sistempun berjalan dengan baik maka dinamika perilaku manusia yang baik akan tercipta di lingkungan kita sehingga terjadinya keharmonisan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar