Rabu, 17 Oktober 2012

perahu kertas


p e r a h u k e r t a s
Perahu kertasku kan melaju
membawa surat cinta bagimu
Kata-kata yang sedikit gila,
tapi ini adanya
Perahu kertas mengingatkanku
betapa ajaibnya hidup ini
Mencari-cari tambatan hati,
kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi
cinta-cinta… cita-cita … cinta-cinta…
yang lama ku pendam sendiri
berdua ku bisa percaya
Ku bahagia kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada di antara milyaran manusia
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu
Tiada lagi yang mampu berdiri halangi rasaku,
cintaku padamu
Ku bahagia kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada di antara milyaran manusia
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu
oh bahagia kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada di antara milyaran manusia
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu..

Selasa, 16 Oktober 2012

lagi..

dan..kita akan lihat bagaimana senja mendewasakan malam, selebihnya senja MATI.

breathless

karena yang sebetulnya itu
daya juangku terhenti.
bukan karna apa, bukan karana siapa
tapi lucu saat tau 
bahwa nyata lakumu ; membunuh aku.

b i a s

mulai lagi
rentetan memori yang menelanjangi 
koma yang menjadi penghubung
dirajut delapan lompatan waktu
: bias

jangan terlalu setia dalam harap
aku tidak punya janji
atau ujung lidah ini memang tidak sanggup memilin dusta

memang pernah mimpiku meraut waktu
bukan berarti jasadku mampu membingkai lebam
cermati dua persimpangan itu
kiri atau kanan kah ?
imajiku hampir lumpuh
bersamaan dengan daging yang mulai membiru

ya!
tentu saja akan kutunggu
duduk-duduk dalam prosa
aku,,
; BIAS

Demo Buruh


nahh..ga ketinggalan berita donk ya tentang aksi demo buruh yg baru2 ini beredar..
sebenernya ini bukan kali pertama buruh melakukan aksi langsung berupa DEMO..
tapi, karena tuntuntan mereka tidak juga digubris sama pemerintah, makanya terjadi lagi aksi demo yang melibatkan jutaan warga..heboh yaa??
gw mau sedikit mengulas tentang permasalahan tersebut, berhubung sebenernya ini tugas juga sih :p
gw share yaaa... :D semoga bermanfaat

Aksi demo buruh yang digelar serentak di sejumlah daerah di Indonesia oleh lebih dari 2 juta pekerja, Rabu (3/10), merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka. Tiga hal yang utama dari aspirasi itu adalah terkait penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing), kenaikan upah, dan penyegeraan jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan. Trilogi tuntutan itu bukanlah isu yang baru muncul kemarin, melainkan disuarakan bertahun-tahun oleh pekerja melalui berbagai cara elegan dan demokratis agar diperoleh penyelesaian bijak dari pemerintah. Bagi kalangan buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi mereka untuk memperjuangkan hak mereka mendapatkan kesejahteraan juga hak mereka akan kepastian kerja dan hidup layak.
Kesenjangan kesejahteraan yang bertemu tekanan hidup yang sangat kompetitif menjadi faktor di tingkat tiap lokal daerah industri. Gerakan yang mengikuti alur desentralisasi ini menjadi terhubung dan relatif terkoordinasi antardaerah akibat trend upah yang relatif setara bila diperhitungkan dengan beban biaya hidup antarkota yang turut memengaruhi besar upah riil pekerja. Antardaerah dalam kerangka kompetisi telah bersaing untuk menekan upah buruhnya, tetapi hasilnya justru kondisi yang relatif setara karena biaya hidup juga tinggi di daerah-daerah yang lebih tinggi upah rata-ratanya. Biaya hidup yang lebih tinggi adalah buah pertumbuhan ekonomi yang cukup besar ditopang konsumsi domestik. Ekspektasi hidup layak mendorong motivasi lebih besar buruh menuntut perbaikan kesejahteraan.
Arena utama politik hubungan industrial secara faktual beralih ke tingkat lokal. Di sanalah terjadinya gejolak-gejolak perburuhan yang berakar dari tingkat perusahaan hingga terbangunnya berbagai jaringan dan aliansi serikat buruh yang selama ini menginisiasi aksi-aksi secara teritorial. Sementara di sisi pengusaha, kepentingan yang diutamakan adalah pencarian profit dari kompetisi yang mengandalkan keunggulan komparatif: buruh murah dan fleksibilitas tenaga kerja. Negara ”terpecah” posisinya akibat latar desentralisasi yang di satu sisi mengalihkan urusan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak regulasi dan mekanisme perburuhan yang bersifat nasional. Situasi unik terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang dapat diinterpretasikan sebagai penolakan kepada sistem kerja kontrak dan alih daya.
Perubahan latar politik perburuhan harusnya memberikan lebih besar lagi insentif bagi pemerintah daerah dan pelaku-pelaku politik lainnya untuk mendorong demokratisasi yang lebih lagi dalam menangani hubungan industrial. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada mekanisme rutin tripartit, seperti penetapan upah tahunan saja. Pemimpin asosiasi pengusaha di tingkat pusat juga harus mengubah strategi keterlibatan yang lebih proaktif dalam memajukan musyawarah, mulai tingkatan perusahaan paling bawah hingga secara teritorial. Tidak bertemunya praktik deliberasi (musyawarah) yang komprehensif dari unsur-unsur dalam politik hubungan industrial di tingkat lokal mengakibatkan pilihan metode perjuangan tuntutan dalam bentuk aksi langsung bagi para buruh: demo!
Hal itu bertujuan mengingatkan pengusaha dan pemerintah bahwa buruh masih hidup dalam tingkat kesejahteraan yang masih minim. Inflasi yang bergerak lebih tinggi dibanding persentase kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten/kota dan juga upah minimum sektoral, jelas membuat kehidupan buruh semakin sulit. Dengan kondisi tersebut, tak heran bila dari tahun ke tahun tuntutan buruh Indonesia tak pernah bergeser dari soal upah.
Di samping itu, realisasi sistem jaminan sosial nasional (SJSN) juga menjadi tuntutan yang menyertainya, mengingat hal itu merupakan domain pemerintah. SJSN yang berjalan sesuai amanat UU 40/2004 diharapkan bisa meringankan beban buruh, khususnya saat sakit dan menghadapi masa tua. Jaminan sosial yang diberikan pemerintah akan membuat buruh lebih tenang bekerja karena pemerintah menjamin sepenuhnya biaya kesehatan dan jaminan hari tua bagi dirinya dan keluarga yang selama ini menjadi pos pengeluaran terbanyak, bahkan bisa menyebabkan keluarga buruh bertambah miskin. Tuntutan lainnya adalah penghapusan outsourcing. Sistem tersebut dianggap tak adil dan merugikan pekerja karena menekan hak para buruh untuk hidup lebih sejahtera.
Ketiga tuntutan tersebut  yakni kenaikan upah, SJSN, dan penghapusan outsourcing– merupakan hal normatif dan patut terus diperjuangkan. Investasi asing yang diharapkan ikut mempercepat pemulihan ekonomi nasional, tak meningkat signifikan malah terlihat semakin menjerumuskan. Perbincangan mengenai nasib buruh tidak akan pernah mendapati ujung ketika kompetisi modal diberi ajang yang lebar, ketika sistem memberikan penghormatan terhadap kepemilikan pribadi. Dan eksploitasi membabibuta terhadap buruh bisa diawali dari fakta ini, dimana buruh sudah dipandang sebagai komoditas yang bebas diperlakukan untuk melipatgandakan keuntungan dari modal yang telah ditanam.
Realitas ekonomi-politik dengan putaran globalisasi neoliberal akan berdampak sosio-ekonomi-politis bagi kehidupan kaum buruh di Indonesia. Angka kemiskinan permanen akan melanda kehidupan kaum buruh di Indonesia yang ber-upah murah. Karena kaum buruh yang posisi tawarnya rendah akan terjebak dalam skenario politik upah murah sedangkan laju harga kebutuhan hidup semakin menanjak karena desakan privatisasi dan liberalisasi.
Menurut para buruh, salah satu kunci untuk melawan bentuk globalisasi ekonomi tersebut adalah pekerja harus kompak dan bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki kemampuan yang baik untuk melakukan advokasi, menyimpan semua dokumentasi sejak mulai hubungan kerja (perjanjian kerja, slip gaji, saldo Jamsostek, SPT pajak penghasilan, dan lainnya. Namun, sayangnya seringkali tuntutan tersebut diacuhkan oleh para pemilik modal atau pengusaha sehingga aksi langsung demo menjadi jalan yang dilihat sangat memungkinkan untuk memunculkan permasalahan mereka ke permukaan.
“Kami berkepentingan dengan perlindungan pekerjaan, perlindungan upah dan jaminan sosial dalam bentuk ‘Pekerjaan Jangka Panjang’  yang menjamin ‘Pekerjaan Layak’ seperti yang selalu digaungkan oleh pemerintah sebagai perwujudan dari UUD 45,” katanya.
Pada hakikatnya, ketentuan perburuhan mestinya hadir untuk melindungi kepentingan kaum buruh sebagai jawaban atas kenyataan bahwa pemilik modal selalu lebih berkuasa dari pekerja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diterapkan hanya untuk mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan menjadikan kaum buruh sebagai tumbal. Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi yang friendly terhadap kapital melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap `memusuhi' pengusaha. Untuk tujuan itu, kepentingan kaum buruh terus ditekan karena syarat utama untuk daya saing itu adalah buruh murah dan patuh.


BUDAYA KEKERASAN



well..kali ini gw mau posting tentang budaya kekerasan yang ternyata udah lama tercipta di kehidupan kita..
salah satu nya adalah kekerasan terhadap wanita..
check it out!
 
KASUS PEMERKOSAAN TERHADAP WANITA
Kekerasan terhadap perempuan, terutama perkosaan, menunjukan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang masih mengedepankan laki-laki daripada perempuan. Budaya patriarchal masih dianut masyarakat di banyak tempat di Indonesia. Hal tersebut tercer­min dalam aturan, norma sosial, moralitas, adab, dan sistem hukum dalam masyarakat yang masih mengacu kepada laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Per­soalan mendasar mengapa kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan berulang kali terjadi, karena ada cara pandang atau cara berpikir yang salah mengenai posisi laki-laki. Akibatnya, semua perempuan cenderung dirugikan dan menjadi korban kekerasan
Berbagai peristiwa yang dialami perempuan di tem­pat umum, ini menjadi teror baru bagi perempuan di Indonesia. Rasa aman di ruang publik tidak lagi mudah diperoleh oleh perempuan. Terulangnya pemerkosaan terhadap perempuan di dalam angkutan umum menun­jukkan bahwa tidak ada kebijakan dari negara untuk me­lindungi perempuan dari kejahatan seksual. Padahal ke­jadian serupa sudah berkali-kali terjadi. Negara cenderung mengabaikan dengan tidak memberikan rasa aman dan menindak tegas para pelaku. Padahal negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan rasa aman dan per­lindungan bagi perempuan, yang merupakan hak konsti­tusional tiap warganya. Negara harus bertanggung jawab untuk memastikan dan mengembalikan rasa aman bagi perempuan Indonesia.
Pemerkosaan sebagai tindak kekerasan laki-laki atas perempuan mencerminkan tatanan sosial yang patriar­chal. Nilai-nilai yang dominan dimiliki dan kendalikan oleh laki-laki. Laki-laki begitu berkuasanya sehingga terbentuk semacam budaya dominasi laki-laki atas perempuan (male domination culture). Budaya ini bisa pula menghinggapi kalangan perempuan, akibat men­gadopsi kultur dan tradisi dominan itu. Budaya yang sarat dominasi laki-laki ini mengakar kuat di masyara­kat, karena secara sengaja ataupun tidak dibiakkan melalui pranata sosial kita, seperti pendidikan, norma moral, adat istiadat, religi, dan lainnya. Nilai-nilai sos­ial itu sungguh sangat bias gender. Turunan budaya ini tampak melalui perilaku sehari-hari laki-laki di tataran rumah tangga, keluarga, komunitas, dan masyarakat serta bangsa.
Pemerkosaan dilakukan laki-laki atas perempuan tak hanya karena dorongan seksual individual atau kolektif, yang menggerakkan biologis mereka untuk segera melampiaskannya semata, melainkan juga aki­bat impulse sosial yang meyakinkan diri mereka bahwa tindakan kekerasan apapun atas dan terhadap orang lain (perempuan) adalah sah dan wajar secara sosial. Le­gitimasi bahwa perbuatan pemerkosaan mereka diakui dan dibenarkan secara sosial, karena relasi kuasa yang ada antara perempuan dan laki-laki, dianggap rasional dikendalikan oleh laki-laki.
Terkait dengan teori ekologi Urie Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan  menyatakan bahwa perilaku seseorang  tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya. Dari kelima sistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem, tindak pemerkosaan ini masuk ke dalam sistem Makrosistem. Makrosistem meliputi kebudayaan tempat individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dan lain-lain. Dalam kasus ini, Negara berperan sangat penting atas terjadinya tindakan pemerkosaan yang berlangsung terus-menerus dan tidak ada habisnya.
Pada tataran hukum, banyak terjadi praktik-praktik hukum yang tidak menguntungkan bagi korban kasus perkosaan. Jika menilik pada Pasal 285 KUHP disebutkan ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah selama-lamanya duabelas tahun penjara. Sementara  pada prakteknya, sangat jarang hakim yang menjatuhkan vonis hukuman maksimal pada para pelaku. Di Indonesia, kasus perkosaan sejauh ini masih dimasukan dalam pasal kesusilaan KUHP.  Sebagai konsekuensinya, jerat hukum yang diberikan untuk pemerkosa hanya sebatas hukuman tindakan asusila. Padahal, perkosaan bukan lagi sekedar tindakan asusila, perkosaan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Korban akan mengalami trauma fisik terlebih-lebih psikis yang akan berlangsung sepanjang hidupnya.
Sensitivitas aparat penegak hukum dalam menangani korban aksi pemerkosaan juga masih perlu dikritisi. Tak jarang terjadi, korban justru menjadi korban dua kali saat menjalani pemeriksaan di kepolisian. Anggapan bahwa perempuan kerap turut andil dalam terjadinya aksi pemerkosaan, dengan memakai pakaian mini misalnya atau bersikap yang memancing birahi masih sering muncul dalam proses pemeriksaan. Hal inilah yang seringkali memicu kekerasan baru dalam bentuk verbal maupun yang menekan psikologis korban.
Negara dengan perangkat hukum dan aparatnya mestinya secara jelas, tegas, dan pasti, mampu mengambil tindakan hukum tanpa pandang bulu terha­dap pelaku pemerkosaan. Menghukum pelaku kejahatan ini dengan masa hukuman yang panjang haruslah men­jadi perhatian negara dan aparatnya. Hukuman yang maksimal kepada pelaku perkosaan tentu sedikit ban­yak akan memunculkan efek jera kepada calon-calon pelaku kejahatan, yang hendak mencoba melakukan­nya. Selain itu, negara juga harus mencabut semua hu­kum dan aturan yang mengarahkan atau menjadikan perempuan subjek perkosaan. Hukum-hukum nasional, aturan adat, norma sosial, dan peraturan-peraturan lo­kal yang melanggar hak asasi perempuan dalam selu­ruh dimensinya mesti dihapuskan. Kemudian, negara juga harus menyediakan fasilitas pemulihan untuk ko­rban dan jaminan pengganti secara sosial ekonomis, sehingga para korban mendapat kepastian akan masa depannya yang sudah dibebani itu. Negara harus dapat berperan maksimal dalam menjamin dan memastikan penikmatan perempuan atas hak asasinya tidak di­langgar oleh siapapun, bahkan oleh Negara sekalipun.

Pemerkosaan sebagai tindak kejahatan (criminal acts) di masyarakat kerap diabaikan atau disembunyikan, karena dianggap aib. Apalagi para korban sering menjadi traumatis untuk dapat menuturkan kisahnya kembali dalam proses hukum dalam pemberkasan maupun pera­dilannya sendiri. Budaya bisu (silence culture) masyara­kat ataupun pihak korban berakar pada kuatnya tatanan nilai dan normal sosial yang bias gender dan patriarchal. Dengan demikian, para korban merasakan ketidakaman­an dan kenyamanan individual dan sosial akibat tatanan masyarakat yang membelenggu. Semua beban tubuh dan kejiwaan akhirnya dirasakan dan ditanggung send­iri. Mau mencurhatkan masalahnya, belum tentu orang-orang di sekitarnya peduli dan empati terhadapnya. Tak jarang, keluarga terdekat pun, untuk kalangan masyara­kat kelas bawah yang tak melek informasi, kebingungan harus melakukan apa untuk mengatasi persoalan itu. Se­hingga tak jarang, mereka membiarkan saja persoalan­nya berlalu tanpa solusi hukum (memperoleh keadilan). Dengan fakta sosial yang demikian, maka seharus­nya negara sebagai pemegang kendali atas hak hidup warganya khususnya warga perempuan, berlaku adil terhadap korban.
Tidak dapat dipungkiri juga, kasus perkosaan yang terjadi banyak dipengaruhi melalui DVD porno yang ditonton pelaku pemerkosaan, media majalah dewasa yang dapat dengan mudah didapatkan oleh semua umur, dan internet yang menyediakan dengan mudah akses untuk mendapatkan video-video porno. Memang maraknya peredaran DVD porno sekarang ini mengakibatkan orang yang tidak mempunyai iman kuat, tabiat yang baik dan lingkungan sosial yang sehat menjadi lupa diri dan tidak lagi mengindahkan norma - norma juga nilai  - nilai kemanusiaan. Disisi lain, sebenarnya pemerintah juga ikut andil dalam perputaran perdagangan DVD porno ini. Pemerintah tidak mampu membuat jaring pengaman untuk beredarnya perdagangan DVD porno, kelemahan pemerintah dalam menindaklanjuti tindakan membajak yang tidak pernah dibuktikan meskipun banyaknya sosialisasi untuk kasus pembajakan. Ditambah dengan budaya yang diciptakan negara seperti yang telah dijelaskan di atas,  yang membuat maraknya kasus pemerkosaan ini tidak pernah berakhir.
            Melihat runtutan peristiwa dan sejarah budaya yang telah diciptakan oleh ranah masyarakat dan negara, dapat disimpulkan beberapa faltor yang mempengaruhi tindak pemerkosaan tersebut sebagai berikut :
·         Faktor pertama datang dari hukum di Indonesia karena keterbatasan KUHP yang meredusir fakta perkosaan. Misalnya pasal alat bukti, pengertian kekerasan yang tidak diakomodasi kekerasan psikis, serta tidak mengandung rumusan perkosaan yang terjadi di rumah tangga. Juga mengenai sanksi terhadap peredaran video  porno di masyarakat yang bisa didaptkan dengan mudah melalui media apa saja.
·         Faktor kedua, tidak perspektifnya aparat kepolisian yang berpihak pada perempuan para korban, menyebabkan korban kekerasan enggan melaporkan kasusnya ke polisi.
·         Faktor ketiga, tidak adanya dukungan oleh masyarakat. Mereka (masyarakat) cenderung menyalahkan korban dan masih mengganggap aib dan memilih upaya damai dengan pelaku. Terlebih lagi korban, dengan mencuatnya kasus itu dianggap sebagai kunci mati bagi masa depannya bahkan dirasakan sebagai perkosaan kedua setelah yang sebenarnya. Dengan melihat banyaknya kasus pemerkosaan yang sudah terjadi baik yang terungkap maupun yang disembunyikan, jelas sekali bahwa kemerosotan mosal pada masyarakat kita. Terakhir

Melihat tingginya angka kasus pemerkosaan di masyarakat, kasus ini harus menjadi perhatian lebih dari berbagai elemen masyarakat khususnya aparat penegak hukum. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menindak dan menghukum, pelaku kejahatan perkosaan seberat-beratnya. Aparat juga diwajibkan memberikan perlindungan, rehabilitasi kepada korban, hal ini bisa diawali di tahap pemeriksaan dimana aparat hukum wajib menjalankan pemeriksaan hukum yang aman dan nyaman bagi korban dengan menghindari sikap dan perilaku yang membuat korban merasa menjadi korban untuk kali kedua. Masyarakat juga sebaiknya lebih berempati terhadap para korban pemerkosaan tersebut, bukannya malah antipati.
Pemerintah bersama masyarakat juga perlu secara terus menerus melakukan upaya pencegahan terjadinya aksi perkosaan, caranya dengan berbagai model edukasi dan promosi kepada masyarakat termasuk menginformasikan ancaman hukuman yang diarahkan kepada pelaku. Yang paling penting dan kadang terlewat adalah perlu dibangunnya lembaga-lembaga atau pusat pelayanan pendampingan untuk korban perkosaan.
              Wanita saat ini bisa menjadi tulang punggung keluarga sehingga tidak bisa dipungkiri memang banyak wanita yang masih berada di luar rumah untuk bekerja pada malam hari dan mereka memerlukan transportasi umum yang hanya tersedia seperti bus dan angkot saja pada malam hari, kecuali bagi mereka yang mempunyai kendaraan sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kerjasama yang baik dengan pihak-pihak terkait  seperti yang telah diuraikan diatas, dan juga keikutsertaaan masyarakat dalam menjaga keamanan dan memprotec diri mereka sendiri agar tidak menjadi sasaran empuk bagi pria untuk melakukan perbuatan tercela tersebut. Diperlukan sebuah kesadaran yang tinggi dari wanita dan masyarakat dalam menjaga lingkungan disekitarnya, karena dinamika perilaku manusia di dalam lingkungan kita berproses dari hari ke hari, dan apabila kerjasama dilaksanakan masyarakat dengan pihak-pihak terkait dan sistempun berjalan dengan baik maka dinamika perilaku manusia yang baik akan tercipta di lingkungan kita sehingga terjadinya keharmonisan.