Selasa, 16 Oktober 2012

Demo Buruh


nahh..ga ketinggalan berita donk ya tentang aksi demo buruh yg baru2 ini beredar..
sebenernya ini bukan kali pertama buruh melakukan aksi langsung berupa DEMO..
tapi, karena tuntuntan mereka tidak juga digubris sama pemerintah, makanya terjadi lagi aksi demo yang melibatkan jutaan warga..heboh yaa??
gw mau sedikit mengulas tentang permasalahan tersebut, berhubung sebenernya ini tugas juga sih :p
gw share yaaa... :D semoga bermanfaat

Aksi demo buruh yang digelar serentak di sejumlah daerah di Indonesia oleh lebih dari 2 juta pekerja, Rabu (3/10), merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka. Tiga hal yang utama dari aspirasi itu adalah terkait penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing), kenaikan upah, dan penyegeraan jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan. Trilogi tuntutan itu bukanlah isu yang baru muncul kemarin, melainkan disuarakan bertahun-tahun oleh pekerja melalui berbagai cara elegan dan demokratis agar diperoleh penyelesaian bijak dari pemerintah. Bagi kalangan buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi mereka untuk memperjuangkan hak mereka mendapatkan kesejahteraan juga hak mereka akan kepastian kerja dan hidup layak.
Kesenjangan kesejahteraan yang bertemu tekanan hidup yang sangat kompetitif menjadi faktor di tingkat tiap lokal daerah industri. Gerakan yang mengikuti alur desentralisasi ini menjadi terhubung dan relatif terkoordinasi antardaerah akibat trend upah yang relatif setara bila diperhitungkan dengan beban biaya hidup antarkota yang turut memengaruhi besar upah riil pekerja. Antardaerah dalam kerangka kompetisi telah bersaing untuk menekan upah buruhnya, tetapi hasilnya justru kondisi yang relatif setara karena biaya hidup juga tinggi di daerah-daerah yang lebih tinggi upah rata-ratanya. Biaya hidup yang lebih tinggi adalah buah pertumbuhan ekonomi yang cukup besar ditopang konsumsi domestik. Ekspektasi hidup layak mendorong motivasi lebih besar buruh menuntut perbaikan kesejahteraan.
Arena utama politik hubungan industrial secara faktual beralih ke tingkat lokal. Di sanalah terjadinya gejolak-gejolak perburuhan yang berakar dari tingkat perusahaan hingga terbangunnya berbagai jaringan dan aliansi serikat buruh yang selama ini menginisiasi aksi-aksi secara teritorial. Sementara di sisi pengusaha, kepentingan yang diutamakan adalah pencarian profit dari kompetisi yang mengandalkan keunggulan komparatif: buruh murah dan fleksibilitas tenaga kerja. Negara ”terpecah” posisinya akibat latar desentralisasi yang di satu sisi mengalihkan urusan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak regulasi dan mekanisme perburuhan yang bersifat nasional. Situasi unik terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang dapat diinterpretasikan sebagai penolakan kepada sistem kerja kontrak dan alih daya.
Perubahan latar politik perburuhan harusnya memberikan lebih besar lagi insentif bagi pemerintah daerah dan pelaku-pelaku politik lainnya untuk mendorong demokratisasi yang lebih lagi dalam menangani hubungan industrial. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada mekanisme rutin tripartit, seperti penetapan upah tahunan saja. Pemimpin asosiasi pengusaha di tingkat pusat juga harus mengubah strategi keterlibatan yang lebih proaktif dalam memajukan musyawarah, mulai tingkatan perusahaan paling bawah hingga secara teritorial. Tidak bertemunya praktik deliberasi (musyawarah) yang komprehensif dari unsur-unsur dalam politik hubungan industrial di tingkat lokal mengakibatkan pilihan metode perjuangan tuntutan dalam bentuk aksi langsung bagi para buruh: demo!
Hal itu bertujuan mengingatkan pengusaha dan pemerintah bahwa buruh masih hidup dalam tingkat kesejahteraan yang masih minim. Inflasi yang bergerak lebih tinggi dibanding persentase kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten/kota dan juga upah minimum sektoral, jelas membuat kehidupan buruh semakin sulit. Dengan kondisi tersebut, tak heran bila dari tahun ke tahun tuntutan buruh Indonesia tak pernah bergeser dari soal upah.
Di samping itu, realisasi sistem jaminan sosial nasional (SJSN) juga menjadi tuntutan yang menyertainya, mengingat hal itu merupakan domain pemerintah. SJSN yang berjalan sesuai amanat UU 40/2004 diharapkan bisa meringankan beban buruh, khususnya saat sakit dan menghadapi masa tua. Jaminan sosial yang diberikan pemerintah akan membuat buruh lebih tenang bekerja karena pemerintah menjamin sepenuhnya biaya kesehatan dan jaminan hari tua bagi dirinya dan keluarga yang selama ini menjadi pos pengeluaran terbanyak, bahkan bisa menyebabkan keluarga buruh bertambah miskin. Tuntutan lainnya adalah penghapusan outsourcing. Sistem tersebut dianggap tak adil dan merugikan pekerja karena menekan hak para buruh untuk hidup lebih sejahtera.
Ketiga tuntutan tersebut  yakni kenaikan upah, SJSN, dan penghapusan outsourcing– merupakan hal normatif dan patut terus diperjuangkan. Investasi asing yang diharapkan ikut mempercepat pemulihan ekonomi nasional, tak meningkat signifikan malah terlihat semakin menjerumuskan. Perbincangan mengenai nasib buruh tidak akan pernah mendapati ujung ketika kompetisi modal diberi ajang yang lebar, ketika sistem memberikan penghormatan terhadap kepemilikan pribadi. Dan eksploitasi membabibuta terhadap buruh bisa diawali dari fakta ini, dimana buruh sudah dipandang sebagai komoditas yang bebas diperlakukan untuk melipatgandakan keuntungan dari modal yang telah ditanam.
Realitas ekonomi-politik dengan putaran globalisasi neoliberal akan berdampak sosio-ekonomi-politis bagi kehidupan kaum buruh di Indonesia. Angka kemiskinan permanen akan melanda kehidupan kaum buruh di Indonesia yang ber-upah murah. Karena kaum buruh yang posisi tawarnya rendah akan terjebak dalam skenario politik upah murah sedangkan laju harga kebutuhan hidup semakin menanjak karena desakan privatisasi dan liberalisasi.
Menurut para buruh, salah satu kunci untuk melawan bentuk globalisasi ekonomi tersebut adalah pekerja harus kompak dan bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki kemampuan yang baik untuk melakukan advokasi, menyimpan semua dokumentasi sejak mulai hubungan kerja (perjanjian kerja, slip gaji, saldo Jamsostek, SPT pajak penghasilan, dan lainnya. Namun, sayangnya seringkali tuntutan tersebut diacuhkan oleh para pemilik modal atau pengusaha sehingga aksi langsung demo menjadi jalan yang dilihat sangat memungkinkan untuk memunculkan permasalahan mereka ke permukaan.
“Kami berkepentingan dengan perlindungan pekerjaan, perlindungan upah dan jaminan sosial dalam bentuk ‘Pekerjaan Jangka Panjang’  yang menjamin ‘Pekerjaan Layak’ seperti yang selalu digaungkan oleh pemerintah sebagai perwujudan dari UUD 45,” katanya.
Pada hakikatnya, ketentuan perburuhan mestinya hadir untuk melindungi kepentingan kaum buruh sebagai jawaban atas kenyataan bahwa pemilik modal selalu lebih berkuasa dari pekerja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa globalisasi hanya menjadi malapetaka bagi kaum buruh terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Globalisasi diterapkan hanya untuk mengedepankan kepentingan para pemilik modal dengan menjadikan kaum buruh sebagai tumbal. Di sisi lain, negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi yang friendly terhadap kapital melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap `memusuhi' pengusaha. Untuk tujuan itu, kepentingan kaum buruh terus ditekan karena syarat utama untuk daya saing itu adalah buruh murah dan patuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar