nahh..ga ketinggalan berita donk ya tentang aksi demo buruh yg baru2 ini beredar..
sebenernya ini bukan kali pertama buruh melakukan aksi langsung berupa DEMO..
tapi, karena tuntuntan mereka tidak juga digubris sama pemerintah, makanya terjadi lagi aksi demo yang melibatkan jutaan warga..heboh yaa??
gw mau sedikit mengulas tentang permasalahan tersebut, berhubung sebenernya ini tugas juga sih :p
gw share yaaa... :D semoga bermanfaat
Aksi demo buruh
yang digelar serentak di sejumlah daerah di Indonesia oleh lebih dari 2 juta
pekerja, Rabu (3/10), merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja
terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka. Tiga
hal yang utama dari aspirasi itu adalah terkait penghapusan sistem kerja alih
daya (outsourcing), kenaikan upah, dan penyegeraan jaminan sosial, khususnya
jaminan kesehatan. Trilogi tuntutan itu bukanlah isu yang baru muncul kemarin,
melainkan disuarakan bertahun-tahun oleh pekerja melalui berbagai cara elegan
dan demokratis agar diperoleh penyelesaian bijak dari pemerintah. Bagi kalangan
buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi mereka untuk memperjuangkan hak
mereka mendapatkan kesejahteraan juga hak mereka akan kepastian kerja dan hidup
layak.
Kesenjangan
kesejahteraan yang bertemu tekanan hidup yang sangat kompetitif menjadi faktor
di tingkat tiap lokal daerah industri. Gerakan yang mengikuti alur
desentralisasi ini menjadi terhubung dan relatif terkoordinasi antardaerah
akibat trend upah yang relatif setara bila diperhitungkan dengan beban biaya
hidup antarkota yang turut memengaruhi besar upah riil pekerja. Antardaerah
dalam kerangka kompetisi telah bersaing untuk menekan upah buruhnya, tetapi
hasilnya justru kondisi yang relatif setara karena biaya hidup juga tinggi di
daerah-daerah yang lebih tinggi upah rata-ratanya. Biaya hidup yang lebih
tinggi adalah buah pertumbuhan ekonomi yang cukup besar ditopang konsumsi
domestik. Ekspektasi hidup layak mendorong motivasi lebih besar buruh menuntut
perbaikan kesejahteraan.
Arena utama
politik hubungan industrial secara faktual beralih ke tingkat lokal. Di sanalah
terjadinya gejolak-gejolak perburuhan yang berakar dari tingkat perusahaan
hingga terbangunnya berbagai jaringan dan aliansi serikat buruh yang selama ini
menginisiasi aksi-aksi secara teritorial. Sementara di sisi pengusaha,
kepentingan yang diutamakan adalah pencarian profit dari kompetisi yang
mengandalkan keunggulan komparatif: buruh murah dan fleksibilitas tenaga kerja.
Negara ”terpecah” posisinya akibat latar desentralisasi yang di satu sisi
mengalihkan urusan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak regulasi dan
mekanisme perburuhan yang bersifat nasional. Situasi unik terjadi ketika Mahkamah
Konstitusi mengeluarkan keputusan yang dapat diinterpretasikan sebagai
penolakan kepada sistem kerja kontrak dan alih daya.
Perubahan latar
politik perburuhan harusnya memberikan lebih besar lagi insentif bagi
pemerintah daerah dan pelaku-pelaku politik lainnya untuk mendorong
demokratisasi yang lebih lagi dalam menangani hubungan industrial. Tidak bisa
lagi hanya bergantung pada mekanisme rutin tripartit, seperti penetapan upah
tahunan saja. Pemimpin asosiasi pengusaha di tingkat pusat juga harus mengubah
strategi keterlibatan yang lebih proaktif dalam memajukan musyawarah, mulai
tingkatan perusahaan paling bawah hingga secara teritorial. Tidak bertemunya
praktik deliberasi (musyawarah) yang komprehensif dari unsur-unsur dalam
politik hubungan industrial di tingkat lokal mengakibatkan pilihan metode
perjuangan tuntutan dalam bentuk aksi langsung bagi para buruh: demo!
Hal itu
bertujuan mengingatkan pengusaha dan pemerintah bahwa buruh masih hidup dalam
tingkat kesejahteraan yang masih minim. Inflasi yang bergerak lebih tinggi
dibanding persentase kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten/kota dan juga
upah minimum sektoral, jelas membuat kehidupan buruh semakin sulit. Dengan
kondisi tersebut, tak heran bila dari tahun ke tahun tuntutan buruh Indonesia
tak pernah bergeser dari soal upah.
Di samping itu,
realisasi sistem jaminan sosial nasional (SJSN) juga menjadi tuntutan yang
menyertainya, mengingat hal itu merupakan domain pemerintah. SJSN yang berjalan
sesuai amanat UU 40/2004 diharapkan bisa meringankan beban buruh, khususnya
saat sakit dan menghadapi masa tua. Jaminan sosial yang diberikan pemerintah
akan membuat buruh lebih tenang bekerja karena pemerintah menjamin sepenuhnya
biaya kesehatan dan jaminan hari tua bagi dirinya dan keluarga yang selama ini menjadi
pos pengeluaran terbanyak, bahkan bisa menyebabkan keluarga buruh bertambah
miskin. Tuntutan lainnya adalah penghapusan outsourcing. Sistem tersebut
dianggap tak adil dan merugikan pekerja karena menekan hak para buruh untuk
hidup lebih sejahtera.
Ketiga tuntutan
tersebut yakni kenaikan upah, SJSN, dan penghapusan outsourcing–
merupakan hal normatif dan patut terus diperjuangkan. Investasi asing yang
diharapkan ikut mempercepat pemulihan ekonomi nasional, tak meningkat
signifikan malah terlihat semakin menjerumuskan. Perbincangan mengenai nasib
buruh tidak akan pernah mendapati ujung ketika kompetisi modal diberi ajang
yang lebar, ketika sistem memberikan penghormatan terhadap kepemilikan pribadi.
Dan eksploitasi membabibuta terhadap buruh bisa diawali dari fakta ini, dimana
buruh sudah dipandang sebagai komoditas yang bebas diperlakukan untuk
melipatgandakan keuntungan dari modal yang telah ditanam.
Realitas
ekonomi-politik dengan putaran globalisasi neoliberal akan berdampak
sosio-ekonomi-politis bagi kehidupan kaum buruh di Indonesia. Angka kemiskinan
permanen akan melanda kehidupan kaum buruh di Indonesia yang ber-upah murah.
Karena kaum buruh yang posisi tawarnya rendah akan terjebak dalam skenario
politik upah murah sedangkan laju harga kebutuhan hidup semakin menanjak karena
desakan privatisasi dan liberalisasi.
Menurut para
buruh, salah satu kunci untuk melawan bentuk globalisasi ekonomi tersebut
adalah pekerja harus kompak dan bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh
yang memiliki kemampuan yang baik untuk melakukan advokasi, menyimpan semua
dokumentasi sejak mulai hubungan kerja (perjanjian kerja, slip gaji, saldo
Jamsostek, SPT pajak penghasilan, dan lainnya. Namun, sayangnya seringkali
tuntutan tersebut diacuhkan oleh para pemilik modal atau pengusaha sehingga
aksi langsung demo menjadi jalan yang dilihat sangat memungkinkan untuk
memunculkan permasalahan mereka ke permukaan.
“Kami berkepentingan dengan
perlindungan pekerjaan, perlindungan upah dan jaminan sosial dalam bentuk
‘Pekerjaan Jangka Panjang’ yang menjamin ‘Pekerjaan Layak’ seperti yang
selalu digaungkan oleh pemerintah sebagai perwujudan dari UUD 45,” katanya.
Pada
hakikatnya, ketentuan perburuhan mestinya hadir untuk melindungi kepentingan
kaum buruh sebagai jawaban atas kenyataan bahwa pemilik modal selalu lebih
berkuasa dari pekerja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa globalisasi hanya
menjadi malapetaka bagi kaum buruh terlebih di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Globalisasi diterapkan hanya untuk mengedepankan kepentingan para
pemilik modal dengan menjadikan kaum buruh sebagai tumbal. Di sisi lain, negara
yang semestinya hadir untuk melindungi, justru takluk di bawah tekanan kapital.
Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terus berupaya menciptakan kondisi
yang friendly terhadap kapital
melalui berbagai revisi perundangan yang dianggap `memusuhi' pengusaha. Untuk
tujuan itu, kepentingan kaum buruh terus ditekan karena syarat utama untuk daya
saing itu adalah buruh murah dan patuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar