well..kali ini gw mau posting tentang budaya kekerasan yang ternyata udah lama tercipta di kehidupan kita..
salah satu nya adalah kekerasan terhadap wanita..
check it out!
KASUS
PEMERKOSAAN TERHADAP WANITA
Kekerasan
terhadap perempuan, terutama perkosaan, menunjukan bahwa kita hidup dalam
masyarakat yang masih mengedepankan laki-laki daripada perempuan. Budaya
patriarchal masih dianut masyarakat di banyak tempat di Indonesia. Hal tersebut
tercermin dalam aturan, norma sosial, moralitas, adab, dan sistem hukum dalam
masyarakat yang masih mengacu kepada laki-laki sebagai subyek dan perempuan
sebagai obyek. Persoalan mendasar mengapa kekerasan terhadap perempuan, seperti
perkosaan berulang kali terjadi, karena ada cara pandang atau cara berpikir
yang salah mengenai posisi laki-laki. Akibatnya, semua perempuan cenderung
dirugikan dan menjadi korban kekerasan
Berbagai peristiwa yang dialami perempuan di tempat umum, ini
menjadi teror baru bagi perempuan di Indonesia. Rasa aman di ruang publik tidak
lagi mudah diperoleh oleh perempuan. Terulangnya pemerkosaan terhadap perempuan
di dalam angkutan umum menunjukkan bahwa tidak ada kebijakan dari negara untuk
melindungi perempuan dari kejahatan seksual. Padahal kejadian serupa sudah
berkali-kali terjadi. Negara cenderung mengabaikan dengan tidak memberikan rasa
aman dan menindak tegas para pelaku. Padahal negara mempunyai kewajiban untuk
memberikan jaminan rasa aman dan perlindungan bagi perempuan, yang merupakan
hak konstitusional tiap warganya. Negara harus bertanggung jawab untuk
memastikan dan mengembalikan rasa aman bagi perempuan Indonesia.
Pemerkosaan sebagai tindak kekerasan laki-laki atas perempuan
mencerminkan tatanan sosial yang patriarchal. Nilai-nilai yang dominan
dimiliki dan kendalikan oleh laki-laki. Laki-laki begitu berkuasanya sehingga
terbentuk semacam budaya dominasi laki-laki atas perempuan (male domination
culture). Budaya ini bisa pula menghinggapi kalangan perempuan, akibat mengadopsi
kultur dan tradisi dominan itu. Budaya yang sarat dominasi laki-laki ini
mengakar kuat di masyarakat, karena secara sengaja ataupun tidak dibiakkan
melalui pranata sosial kita, seperti pendidikan, norma moral, adat istiadat,
religi, dan lainnya. Nilai-nilai sosial itu sungguh sangat bias gender.
Turunan budaya ini tampak melalui perilaku sehari-hari laki-laki di tataran
rumah tangga, keluarga, komunitas, dan masyarakat serta bangsa.
Pemerkosaan dilakukan
laki-laki atas perempuan tak hanya karena dorongan seksual individual atau
kolektif, yang menggerakkan biologis mereka untuk segera melampiaskannya
semata, melainkan juga akibat impulse sosial yang meyakinkan diri mereka bahwa
tindakan kekerasan apapun atas dan terhadap orang lain (perempuan) adalah sah
dan wajar secara sosial. Legitimasi bahwa perbuatan pemerkosaan mereka diakui
dan dibenarkan secara sosial, karena relasi kuasa yang ada antara perempuan dan
laki-laki, dianggap rasional dikendalikan oleh laki-laki.
Terkait dengan teori ekologi Urie
Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan menyatakan bahwa perilaku
seseorang tidak berdiri sendiri,
melainkan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di
luarnya. Dari kelima sistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner yaitu
mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem, tindak
pemerkosaan ini masuk ke dalam sistem Makrosistem. Makrosistem meliputi kebudayaan tempat individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua
produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum,
adat istiadat, budaya, dan lain-lain. Dalam kasus ini, Negara berperan
sangat penting atas terjadinya tindakan pemerkosaan yang berlangsung
terus-menerus dan tidak ada habisnya.
Pada tataran
hukum, banyak terjadi praktik-praktik hukum yang tidak menguntungkan bagi
korban kasus perkosaan. Jika menilik pada Pasal 285 KUHP disebutkan ancaman
hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah selama-lamanya duabelas
tahun penjara. Sementara pada prakteknya, sangat jarang hakim yang
menjatuhkan vonis hukuman maksimal pada para pelaku. Di Indonesia, kasus
perkosaan sejauh ini masih dimasukan dalam pasal kesusilaan KUHP. Sebagai
konsekuensinya, jerat hukum yang diberikan untuk pemerkosa hanya sebatas
hukuman tindakan asusila. Padahal, perkosaan bukan lagi sekedar tindakan
asusila, perkosaan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crime against humanity). Korban akan mengalami trauma fisik
terlebih-lebih psikis yang akan berlangsung sepanjang hidupnya.
Sensitivitas
aparat penegak hukum dalam menangani korban aksi pemerkosaan juga masih perlu
dikritisi. Tak jarang terjadi, korban justru menjadi korban dua kali saat
menjalani pemeriksaan di kepolisian. Anggapan bahwa perempuan kerap turut andil
dalam terjadinya aksi pemerkosaan, dengan memakai pakaian mini misalnya atau
bersikap yang memancing birahi masih sering muncul dalam proses pemeriksaan.
Hal inilah yang seringkali memicu kekerasan baru dalam bentuk verbal maupun
yang menekan psikologis korban.
Negara dengan
perangkat hukum dan aparatnya mestinya secara jelas, tegas, dan pasti, mampu
mengambil tindakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku pemerkosaan.
Menghukum pelaku kejahatan ini dengan masa hukuman yang panjang haruslah menjadi
perhatian negara dan aparatnya. Hukuman yang maksimal kepada pelaku perkosaan
tentu sedikit banyak akan memunculkan efek jera kepada calon-calon pelaku
kejahatan, yang hendak mencoba melakukannya. Selain itu, negara juga harus
mencabut semua hukum dan aturan yang mengarahkan atau menjadikan perempuan
subjek perkosaan. Hukum-hukum nasional, aturan adat, norma sosial, dan
peraturan-peraturan lokal yang melanggar hak asasi perempuan dalam seluruh
dimensinya mesti dihapuskan. Kemudian, negara juga harus menyediakan fasilitas
pemulihan untuk korban dan jaminan pengganti secara sosial ekonomis, sehingga
para korban mendapat kepastian akan masa depannya yang sudah dibebani itu.
Negara harus dapat berperan maksimal dalam menjamin dan memastikan penikmatan
perempuan atas hak asasinya tidak dilanggar oleh siapapun, bahkan oleh Negara
sekalipun.
Pemerkosaan sebagai
tindak kejahatan (criminal acts) di masyarakat kerap diabaikan atau
disembunyikan, karena dianggap aib. Apalagi para korban sering menjadi
traumatis untuk dapat menuturkan kisahnya kembali dalam proses hukum dalam
pemberkasan maupun peradilannya sendiri. Budaya bisu (silence culture) masyarakat
ataupun pihak korban berakar pada kuatnya tatanan nilai dan normal sosial yang
bias gender dan patriarchal. Dengan demikian, para korban merasakan ketidakamanan
dan kenyamanan individual dan sosial akibat tatanan masyarakat yang
membelenggu. Semua beban tubuh dan kejiwaan akhirnya dirasakan dan ditanggung
sendiri. Mau mencurhatkan masalahnya, belum tentu orang-orang di sekitarnya
peduli dan empati terhadapnya. Tak jarang, keluarga terdekat pun, untuk
kalangan masyarakat kelas bawah yang tak melek informasi, kebingungan harus
melakukan apa untuk mengatasi persoalan itu. Sehingga tak jarang, mereka
membiarkan saja persoalannya berlalu tanpa solusi hukum (memperoleh keadilan).
Dengan fakta sosial yang demikian, maka seharusnya negara sebagai pemegang
kendali atas hak hidup warganya khususnya warga perempuan, berlaku adil
terhadap korban.
Tidak dapat
dipungkiri juga, kasus
perkosaan yang terjadi banyak dipengaruhi melalui DVD porno yang ditonton
pelaku pemerkosaan, media majalah dewasa yang dapat dengan mudah didapatkan
oleh semua umur, dan internet yang menyediakan dengan mudah akses untuk
mendapatkan video-video porno. Memang maraknya peredaran DVD porno sekarang ini
mengakibatkan orang yang tidak mempunyai iman kuat, tabiat yang baik dan
lingkungan sosial yang sehat menjadi lupa diri dan tidak lagi mengindahkan
norma - norma juga nilai - nilai
kemanusiaan. Disisi lain, sebenarnya pemerintah juga ikut andil dalam
perputaran perdagangan DVD porno ini. Pemerintah tidak mampu membuat jaring
pengaman untuk beredarnya perdagangan DVD porno, kelemahan pemerintah dalam
menindaklanjuti tindakan membajak yang tidak pernah dibuktikan meskipun
banyaknya sosialisasi untuk kasus pembajakan. Ditambah dengan budaya yang
diciptakan negara seperti yang telah dijelaskan di atas, yang membuat maraknya kasus pemerkosaan ini
tidak pernah berakhir.
Melihat runtutan peristiwa dan
sejarah budaya yang telah diciptakan oleh ranah masyarakat dan negara, dapat
disimpulkan beberapa faltor yang mempengaruhi tindak pemerkosaan tersebut
sebagai berikut :
·
Faktor pertama datang dari hukum di
Indonesia karena keterbatasan KUHP yang meredusir fakta perkosaan. Misalnya
pasal alat bukti, pengertian kekerasan yang tidak diakomodasi kekerasan psikis,
serta tidak mengandung rumusan perkosaan yang terjadi di rumah tangga. Juga
mengenai sanksi terhadap peredaran video
porno di masyarakat yang bisa didaptkan dengan mudah melalui media apa
saja.
·
Faktor kedua, tidak perspektifnya aparat
kepolisian yang berpihak pada perempuan para korban, menyebabkan korban
kekerasan enggan melaporkan kasusnya ke polisi.
·
Faktor ketiga, tidak adanya dukungan
oleh masyarakat. Mereka (masyarakat) cenderung menyalahkan korban dan masih
mengganggap aib dan memilih upaya damai dengan pelaku. Terlebih lagi korban,
dengan mencuatnya kasus itu dianggap sebagai kunci mati bagi masa depannya
bahkan dirasakan sebagai perkosaan kedua setelah yang sebenarnya. Dengan
melihat banyaknya kasus pemerkosaan yang sudah terjadi baik yang terungkap
maupun yang disembunyikan, jelas sekali bahwa kemerosotan mosal pada masyarakat
kita. Terakhir
Melihat
tingginya angka kasus pemerkosaan di masyarakat, kasus ini harus menjadi
perhatian lebih dari berbagai elemen masyarakat khususnya aparat penegak hukum.
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menindak dan menghukum, pelaku
kejahatan perkosaan seberat-beratnya. Aparat juga diwajibkan memberikan
perlindungan, rehabilitasi kepada korban, hal ini bisa diawali di tahap
pemeriksaan dimana aparat hukum wajib menjalankan pemeriksaan hukum yang aman
dan nyaman bagi korban dengan menghindari sikap dan perilaku yang membuat
korban merasa menjadi korban untuk kali kedua. Masyarakat juga sebaiknya lebih
berempati terhadap para korban pemerkosaan tersebut, bukannya malah antipati.
Pemerintah
bersama masyarakat juga perlu secara terus menerus melakukan upaya pencegahan
terjadinya aksi perkosaan, caranya dengan berbagai model edukasi dan promosi
kepada masyarakat termasuk menginformasikan ancaman hukuman yang diarahkan
kepada pelaku. Yang paling penting dan kadang terlewat adalah perlu dibangunnya
lembaga-lembaga atau pusat pelayanan pendampingan untuk korban perkosaan.
Wanita saat ini bisa menjadi
tulang punggung keluarga sehingga tidak bisa dipungkiri memang banyak wanita
yang masih berada di luar rumah untuk bekerja pada malam hari dan mereka memerlukan
transportasi umum yang hanya tersedia seperti bus dan angkot saja pada malam
hari, kecuali bagi mereka yang mempunyai kendaraan sendiri. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah kerjasama yang baik dengan pihak-pihak terkait seperti yang telah diuraikan diatas, dan juga
keikutsertaaan masyarakat dalam menjaga keamanan dan memprotec diri mereka sendiri
agar tidak menjadi sasaran empuk bagi pria untuk melakukan perbuatan tercela
tersebut. Diperlukan sebuah kesadaran yang tinggi dari wanita dan masyarakat
dalam menjaga lingkungan disekitarnya, karena dinamika perilaku manusia di dalam
lingkungan kita berproses dari hari ke hari, dan apabila kerjasama dilaksanakan
masyarakat dengan pihak-pihak terkait dan sistempun berjalan dengan baik maka
dinamika perilaku manusia yang baik akan tercipta di lingkungan kita sehingga
terjadinya keharmonisan.